Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Papua Perlu Merdeka

Oleh: Demmy Namsa

(tulisan ini merupakan refleksi penulis sejak masih mahasiswa dan dimuat di Majalah Kampus)

Foto Repro (pen,07/8)

Undang-Undang No.21 Tahun 2001 (UU No.21/2001) tentang Otonomi Khusus bagi provinsi Papua telah diberikan. Pemberian UU Otsus itu sebagai jawaban pemerintah Indonesia terhadap maraknya tuntutan kemerdekaan, yang ditandai dengan pengibaran bendera Bintang Kejora di beberapa kabupaten di Papua sejak tahun 1998. Alasan tuntutan tersebut, menurut Pemerintah, disebabkan oleh kegagalan kebijakan pembangunan (Theo van den Broek, dkk: 2003: 164) sehingga Otsus diberikan sebagai jawaban untuk menyelesaikan konflik Papua. Namun, benarkah penilaian pemerintah itu?

Dalam tulisan ini saya mau merefleksikan sejauh mana persoalan di Papua disebabkan oleh kegagalan pembangunan? Mungkinkah ada persoalan lain yang lebih mendasar daripada kegagalan pembangunan? Apakah Otsus menjawab persoalan Papua atau sebaliknya? Bagaimana solusi yang perlu diambil dalam menyelesaikan konflik Papua. Pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan menjadi fokus diskusi kita di sini.

 

Otsus Gagal: Kekerasan Terus Terjadi Di Papua

”Inti tawaran Otsus bagi provinsi Papua”, tulis Theo dkk, ”tercipta dari pandangan resmi yang berkembang dan disosialisasikan oleh kalangan pejabat Pemerintah bahwa persoalan di Papua berakar dari gagalnya kebijakan pembangunan di wilayah tersebut” (ibid, 164). Selain itu Otsus juga diberikan sebagai tanggapan atas munculnya unjukrasa dan pengibaran bendera Bintang Kejora di berbagai kabupaten di Papua selama 1998. Tawaran Otsus kepada provinsi Papua juga didasarkan atas pandangan pemerintah yang tak boleh diganggu gugat, bahwa Papua merupakan bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Inspirasi lain dari tawaran Otsus adalah merupakan kebijakan nasional yang harus berlaku bagi semua provinsi di Indonesia. Semua ini merupakan gagasan dasar dari pemberian Otsus kepada provinsi Papua.

`Niat baik pemerintah` untuk memberikan Otsus kepada provinsi Papua merupakan hal yang sangat positif. Namun bagi saya adalah keliru jika Otsus diberikan hanya untuk menyelesaikan konflik Papua yang diredusir sebagai kegagalan pembangunan. Pemerintah menilai bahwa konflik yang timbul di Papua berasal dari kegagalan pembangunan. Dengan demikian logikanya adalah karena kegagalan pembangunan, orang asli Papua menuntut kemerdekaan, yang ditandai dengan pengibaran bendera Bintang Kejora? Penilaian pemerintah ini tampak dengan amat jelas ketika UU Otsus diimplementasikan di Papua.

Bagi saya, UU Otsus rupanya diidentikan dengan uang. Otsus adalah uang, sehingga hampir setiap tahun dana trilyunan rupiah dikucurkan ke Papua. Masyarakat selalu antusias menerima pencairan dana Otsus. Dana Otsus yang diberikan itu jumlahnya tidak sedikit.  Misalnya, anggaran dana Otsus dari tahun 2002 hingga 2007 masing-masing adalah; 1,2 trilyun (2000), 1,3 trilyun (2003), 1,4 trilyun (2004), 1,5 trilyun (2005), 1,7 trilyun (2006), dan 3,2 trilyun (2007). Jadi jumlah total anggaran dana Otsus untuk Papua sejak tahun 2000 hingga 2007 sebanyak 10,3 trilyun. (sumber data: Buletin Keuskupan Manokwari-Sorong No.33/September 2007, hal 42; lih juga catatan kaki dari tulisan Bisei: 2007: 18-19). Dana yang begitu banyak ini belum terhitung dengan anggaran dana Otsus tahun 2008 dan 2009. Banyaknya dana yang diberikan kepada provinsi Papua dan Papua Barat tersebut dipandang sebagai upaya untuk mensejahterakan orang asli Papua akibat kegagalan pembangunan di atas. Singkatnya karena kegagalan pembangunan, dana Otsus harus lebih banyak diberikan untuk mensejahterakan orang asli Papua. 

Meskipun persoalan di Papua disebabkan oleh kegagalan pembangunan, Otsus sendiri tidak berhasil mensejahterakan orang asli Papua. Nyatanya sejak Otsus diberlakukan, pertumbuhan ekonomi masyarakat justru menurun dratis bila dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi sebelum Otsus. Menurut LIPI pertumbuhan ekonomi tahun 1995, 1996, 1997, 1998 mencapai 20,18%, 13,87%, 7,42%, dan 12,72%; sedangkan pertumbuhan ekonomi sesudah Otsus diimplementasikan pada tahun 2002, 2003, 2004, hanya mencapai 8,7%, 2,96%, dan 0,53%. (Widjojo: 2009: 14)

Padahal dana Otsus yang dikucurkan ke Papua sangat tinggi belum terhitung uang yang dikelolah lembaga-lembaga non-pemerintah dan perusahan-perusahan besar. Tapi nyatanya kemiskinan sangat tinggi di Papua. Tingkat kemiskinan yang amat tinggi ini oleh Bisei disebut sebagai kemiskinan absolut dan ekstrim. Bersifat absolut karena hal-hal pokok (basic needs) yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup nyaris tak terpenuhi. Contohnya terjadi bencana kelaparan di beberapa kabupaten di Papua seperti Tolikara, Yahukimo, Jayawijya, Puncak Jaya dan Paniai. Buruknya kesehatan yang menimbulkan berbagai penyakit yang diderita rakyat dan angka kematian cukup tinggi. Kemiskinan bersifat ekstrim karena keterbelakangan rakyat Papua dalam hal pengolaan teknologi akibat pengetahuan yang rendah, tingginya angka buta huruf, ketrampilan yang terbatas dan keahlian yang minim. Untuk mengolah sumber daya alam, rakyat hanya menggunakan tenaga otot dan pengetahuan seadanya yang sudah diwariskan kepada mereka (Bisei: 2007: 18). Karena itu sebetulnya kemiskinan di Papua yang bersifat absolut dan ekstrim ini merupakan suatu bentuk penindasan yang mengekang rakyat Papua untuk keluar dari kondisi hidup yang terpuruk dan karenanya menurunkan derajat dan martabat rakyat Papua ke titik yang tidak manusiawi (ibid).

Jadi kalau konflik di Papua hanya direduksi ke dalam kegagalan pembangunan, maka Otsus jelas-jelas gagal mensejahterakan orang asli Papua. Bila Otsus gagal mensejahterakan orang asli Papua, maka tuntutan kemerdekaan tidak pernah selesai, sebab mereka belum sejahtera. Akibatnya konflik pun tidak akan pernah selesai. Tuntutan kemerdekaan dan pengibaran bendera Bintang Kejora pun tidak akan berhenti.

Akan tetapi bagi saya konflik di Papua bukan hanya disebabkan oleh kegagalan pembangunan, kendati kegagalan pembangunan merupakan salah satunya. Konflik di Papua lebih pada persoalan sejarah dan identitas bangsa Papua. Persoalan sejarah integrasi dan identitas bangsa merupakan persoalan dasar yang mendorong timbulnya upaya untuk merdeka. Jadi apabila pemerintah pusat dapat menyelesaikan persoalan sejarah integrasi dan identitas bangsa Papua, maka tuntutan kemerdekaan Papua mungkin saja bisa dikurangi bahkan tidak lagi terjadi. Para perumus UU Otsus tidak memperhatikan persoalan fundamental ini. Mereka mengira bahwa konflik di Papua diakibatkan oleh kegagalan pembangunan dan mengabaikan sisi fundamental dari konflik Papua.

Hal ini terbukti bahwa dalam masa pelaksanaan UU Otsus pun, kekerasan terhadap rakyat Papua terjadi. Kekerasan Wasior 2003 yang mengorbankan 4 orang dan kasus Wamena 2005 yang menewaskan 9 orang merupakan bukti kuat akar konflik di Papua. Selain itu hampir setiap saat kita mendengar, melihat dan membaca pada media massa baik elektronik maupun surat kabar bahwa terjadi tindakan kekerasan dilakukan oleh pihak keamanan negara kepada orang asli Papua.

Kekerasan yang dialami oleh rakyat Papua sejak Papua berintegrasi dengan NKRI 1 Mei 1963 juga merupakan bentuk lain potensi konflik di Papua. Operasi militer dari tahun 1965-1969; 1969,1977; 1981-1985; dan dilanjutkan tahun 2003-2005. (bdk Neles Tebay: 2008; 133  ; 2009:  ) Semua ini sebetulnya menunjukkan tentang akar persoalan di Papua. Kekerasan akibat politik negara terhadap rakyat Papua menyebabkan terus adanya tuntutan untuk merdeka dan pengibaran bendera Bintang Kejora.

Bukan hanya kekerasan akibat politik negara, melainkan juga kurangnya penghargaan atas martabat orang asli Papua melalui ekspesi budaya mereka. Faktor kultural budaya sangat menjiwai kehidupan orang asli Papua. Melarang mereka untuk tidak mempertunjukan simbol-simbol kedaerahan mereka, berarti tidak menghargai mereka. Seorang aktivis damai di Papua dalam sebuah diskusi tentang HAM, ia berkomentar ”pemerintah Indonesia tidak mau memperhatikan Mas-mas Papua tetapi Emas Papua”. Artinya keinginan untuk memberdayakan orang Papua kurang dipedulikan oleh pemerintah Indonesia, tapi yang diperlukan dari Papua adalah emas atau harta kekayaan. Singkatnya martabat orang Papua sebagai manusia yang berbudaya tidak dipedulikan oleh pemerintah, yang penting bagi Pemerintah adalah emas dan kekayaan alamnya.

Kurangnya penghargaan terhadap martabat orang asli Papua terlihat jelas dengan adanya larangan untuk tidak menggunakan lambang-lambang, simbol-simbol kedaerahan yang mengarah pada ancaman keutuhan NKRI.  Lambang bendera Bintang Kejora pada tas-tas (nokeng), pakaian, topi, merupakan salah satu contoh isu yang dinilai mengancam keutuhan NKRI. Selain itu hampir di semua kantor pemerintahan dan perusahan-perusahan swasta didominasi oleh orang non-Papua. Warga asli Papua hanya berdiri sebagai penonton karena mereka tidak mampu untuk bersaing dengan warga pendatang. Di bidang ekonomi, warga pendatang lebih unggul ketimbang warga asli Papua. Salah satu contoh konkret terlihat di Pasar Youtefa di mana hampir semua kios dan tempat jualan diduduki oleh warga pendatang, sementara mama-mama Papua hanya berjualan di atas tanah. Mereka juga banyak berjualan di emperan tokoh atau ruko-ruko. Kenyataan ini menunjukkan adanya sikap marginalisasi atas orang asli Papua. Sikap marginalisasi ini didukung oleh pemerintah Indonesia melalui program transmigrasi yang mendatangkan banyak orang dari luar Papua. (bdk Bless: 2001: 40). Kedatangan kaum pendatang menyebabkan adanya sikap minder dari orang asli sehingga mereka akan tergeser ke pinggiran kota. Jadi inti persoalan di Papua bukan hanya terletak pada kegagalan pembangunan melainkan juga sejarah integrasi dan identitas bangsa serta marginalisasi orang asli Papua. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Otsus gagal menyelesaikan konflik Papua. Kegagalan Otsus dalam menyelesaikan konflik Papua, bagi saya, menjadi bukti nyata bahwa Papua perlu merdeka. 

 

Papua Perlu Merdeka

Maksud Papua perlu merdeka bukan berarti terlepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Papua perlu merdeka karena Otsus telah diberikan seluas-luasnya kepada provinsi Papua, namun persoalan di Papua masih terus terjadi. Persoalan yang terus terjadi menunjukkan adanya `ketidakberesan` dalam pelaksanaan UU Otsus sehingga Otsus disebut gagal. `Ketidakberesan` dalam pelaksanaan Otsus diakibatkan oleh belum adanya kesamaan persepsi antara pemerintah Indonesia dan orang asli Papua dalam menyelesaikan konflik Papua dan kurangnya penghormatan terhadap martabat kemanusian orang Papua. Dua hal dasariah ini belum diperhatikan dengan sungguh sehingga Otsus diberikan namun tidak menyelesaikan persoalan.

Pertama, belum adanya kesamaan persepsi antara pemerintah Indonesia dan orang asli Papua dalam menyelesaikan konflik Papua. Pemerintah Indonesia mengira bahwa konflik di Papua dapat teratasi melalui pendekatan keamanan. Karena itu selama Papua berintegrasi dengan NKRI terjadi operasi militer besar-besaran di Papua. Sedikitnya terdapat duabelas operasa militer di Papua sejak 1 Mei 1963 hingga kini.

Operasi Sadar merupakan operasi pertama yang dimulai tahun 1965 dan berakhir dua tahun kemudian. Operasi kedua disebut Operasi Brathayuda tahun 1967 dan menelan korban sekitar 3.500 orang. Operasi ketiga disebut Operasi Wibawa yang dilakukan sejak tahun 1969 dan menelan korban jiwa sekitar 30.000 jiwa antara tahun 1963-1969.

Operasi keempat dilaksanakan di kabupaten Jayawijaya tahun 1977dan mengakibatkan 12.397 warga Papua meninggal dunia. Operasi kelima dikenal sebagai Operasi Sapu Bersih I dan II tahun 1981, yang menelan korban jiwa sedikitnya 1.000 orang di kabupaten Jayapura dan 2.500 orang di kabupaten Paniai. Tahun 1982, terjadi operasi keenam yang dikenal Operasi Galang I dan II, yang menyebabkan terbunuhnya ribuan jiwa. Operasi Tumpas merupakan operasi ketujuh dan berlangsung antara tahun 1983-1984.

Tahun 1985 terjadi lagi operasi Sapu Bersih yang dikenal sebagai operasi kedelapan. Dalam operasi kedelapan sedikitnya 517 jiwa dibunuh oleh TNI dan membumihanguskan sekitar 200 rumah. Operasi kesembilan dilakukan di Mapnduma tahun 1996, yang menyebabkan 35 orang Papua meninggal dunia, 14 perempuan diperkosa, 13 gereja dirusak dan 166 rumah dibumihanguskan, sementara 123 warga sipil meninggal akibat penyakit dan kelaparan setelah menyelamatkan diri ke dalam hutan.

Tahun 1998 Papua Barat sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) dicabut oleh Indonesia namun pengejaran terhadap kaum separatis Papua dilanjutkan. Karena itu operasi kesepuluh dilakukan tahun 2001 di kabupaten Manokwari dan menyebabkan 4 orang dibunuh, 6 orang mengalami penyiksaan, 1 perempuan diperkosa dan 5 orang hilang.

Antara April sampai November 2003 terjadi lagi operasi di Wamena. Operasi di Wamena ini merupakan operasi kesebelas. Pada saat itu tentara menguasai seluruh kawasan, menghambat akses kelompok Gereja dan pekerja kemanusiaan untuk memberikan bantuan selama berlangsungnya operasi. Akibatnya 9 orang meninggal dunia, 38 orang mengalami penyiksaan dan 15 orang ditangkap tanpa alasan yang jelas.

Tahun 2004 terjadi operasi keduabelas di kabupaten Puncak Jaya yang menyebabkan 6.000 dari 27 desa menyelamatkan diri ke hutan, dan 35 diantaranya termasuk 13 anak-anak meninggal di kamp pengungsian yang dibangun di sana. Seluruh daerah tertutup untuk para pekerja kemanusiaan ( Tebay, 2005: 5-6).

Di sini tampak dengan jelas bahwa penyelesaian konflik Papua melalui pendekatan keamanan tidak pernah menyelesaikan konflik malahan menambah persoalan. Namun pandangan pemerintah Indonesia bahwa konflik di Papua akan aman bila kaum separatis telah dihabiskan. Karena itu tujuan dari operasi yang dilakukan oleh militer adalah memberantas orang asli Papua yang dianggap separatis oleh pemerintah Indonesia (ibid, 6).

Persepsi semacam ini tidak pernah mendatangkan kedamaian bagi orang asli Papua. Sebabnya masyarakat akan tetap memandang pemerintah sebagai penjajah dan pembunuh. Singkatnya, adanya suatu ketakutan warga asli untuk mendekatkan diri dengan pemerintah yang termanifestasi melalui militer. Akibatnya niat baik pemerintah untuk memberdayakan orang asli tidak direspon positif. Warga asli akan memandang niat baik pemerintah sebagai upaya untuk menghabiskan mereka. Salah satu contoh konkret adalah Otonomi Khusus. Sejak Otsus diberikan kepada provinsi Papua, terjadi pro-dan kontra antara warga asli Papua sendiri. Kebanyakan dari warga asli tidak menyetujui `niat baik pemerintah itu`. Bagi warga, Otsus hanya semacam ”gula-gula politik” pemerintah Indonesia, untuk menjauhkan warga dari persoalan dasar di Papua.

Dari pihak warga asli, adanya semacam ketidakpercayaan terhadap pemerintah. Ketika pemerintah berupaya untuk mensejahterakan warga, warga memandang `niat baik pemerintah itu` sebagai upaya menjauhkan mereka dari berbagai ingatan penderitaan di masa lalu. Warga selalu berpandangan negatif terhadap pemerintah dikalah pemerintah mau menolong mereka. Pikiran negatif masyarakat bermula dari pengalaman akan penderitaan yang mereka alami dan rasakan selama bertahun-tahun. Karena itu tidak heran bila warga sepakat untuk mengembalikan Otsus kepada pemerintah Indonesia.

Oleh karena itu bagi saya, mesti adanya kesamaan persepsi antara pemerintah Indonesia dan warga asli Papua. Salah satu bentuk konkret untuk membangun persamaan persepsi yakni melalui dialog. Buku karangan Dr Neles Tebay ”Dialog Jakarta-Papua: Sebuah Perspektif Papua” merupakan salah satu solusi ke arah itu. Singkatnya, mesti adanya dialog Jakarta dan Papua supaya mengetahui dengan pasti apa persoalan dasariah yang terjadi di Papua. Dengan demikian persoalan di Papua akan terselesaikan dengan baik, adil, demokratis dan bermartabat.

 Kedua, kalau dialog sudah dimulai, maka mesti adanya penghormatan terhadap martabat kemanusiaan orang Papua. Martabat kemanusiaan orang Papua selama bertahun-tahun diinjak-injak dengan adanya operasi militer di atas. Menyadari akan hal ini, pemerintah menawarkan Otonomi Khusus bagi Papua untuk juga menghormati harkat dan martabat mereka. Akan tetapi selama UU Otsus dilaksanakan, kekerasan terhadap warga asli Papua pun tak kunjung henti. UU Otsus dilaksanakan dengan secara sah pada tahun 2002 namun pada tahun 2003 terjadi kekerasan di Wasior dan tahun 2005 di Wamena. Kasus wasior 2003 menewaskan 4 orang dan kasus Wamena 2005 menewaskan 9 orang. Kenyataan ini diperkuat lagi dengan adanya pelbagai macam kekerasan, intimindasi, peneroran yang terjadi selama tahun-tahun pelaksaanaan UU Otsus.

Sikap seperti ini memperlihatkan adanya ketidakhormatan terhadap martabat manusia. Harkat dan martabat manusia karena alasan politik dapat diperlakukan dengan tidak adil dan manusiawi. Pihak yang berkuasa dapat melakukan tindakan semena-mena terhadap pihak yang lemah. Karena itu sikap menghormati dan menghargai martabat kemanusiaan orang lain perlu dijunjung tinggi.

Sikap menghormati dan menghargai bukan hanya kepada manusia semata, melainkan juga budaya mereka. Persoalan yang muncul kerapkali diakibatkan oleh kurangnya penghargaan atas nilai budaya mereka. Nilai adat yang dulunya mengatur kehidupan bersama, sehingga segala sesuatu dapat berjalan lancar dan kelestarian hidup baik perorangan maupun kelompok terjamin (Broek, 2006: 8). Namun kini semuanya telah berubah. Nilai budaya masyarakat telah digantikan dengan kehendak nasionalisme pemerintah. Misalnya perjuangan MRP (Majelis Rakyat Papua) untuk menjadikan bendera bintang kejora dan simbol burung mambruk menjadi bendera dan simbol budaya orang Papua ditanggapi oleh PP No.37/2007 yang melarang penggunaan simbol-simbol separatis sebagai simbol-simbol budaya dan daerah (Widjojo, 2009:32).

Dengan demikian, bila adanya kesamaan persepsi antara pemerintah Indonesia dan warga asli Papua melalui suatu dialog damai dan penghormatan, penghargaan, terhadap manusia dan budaya mereka, persoalan di Papua dapat terselesaikan dengan baik, adil, demokratis dan bermartabat.

 

Penutup

UU Otonomi Khusus bagi provinsi Papua telah diberikan. Salah satu alasan pemberian Otsus tersebut dikarenakan oleh kegagalan kebijakan pembangunan. Kerena alasan kegagalan pembangunan, dana Otsus diberikan bertrilyun-trilyun namun kenyataannya Otsus gagal mensejahterakan orang asli Papua. Sementara itu konflik di Papua terus terjadi. Kenyataan ini memperlihatkan bahwa masalah di Papua bukan hanya kerena faktor kegagalan pembangunan melainkan sejarah integrasi dan identitas bangsa, kekerasan politik negara, dan marginalisasi orang asli Papua. Dengan demikian Papua perlu merdeka. Kemerdekaan Papua adalah bukan terlepas dari NKRI melainkan merdeka dalam arti adanya kesamaan persepsi antara pemerintah dan masyarakat asli Papua dan adanya penghargaan terhadap martabat orang asli Papua sebagai manusia berbudaya.

 

 

 

 

Daftar Pustaka

Bisei, Abdon., ”Penderitaan Rakyat Papua Sengsara Yesus Masa Kini: Refleksi Soteriologi atas Penderitaan Rakyat Papua” dalam Limen, Tahun. 4, No.1 Oktober 2007, hal 18-19

Broek, Theo van den, dkk., Memoria Passionis di Papua: Kondisi Sosial Politik dan Hak Asasi Manusia 2001, Jayapura: SKP Jayapura dan LSPP Jakarta, 2003

-----------------., Membangun Budaya Damai dan Rekonsiliasi: Dasar Menangani Konflik di Papua, Jayapura: SKP Jayapura, 2006

Buletin Keuskupan Manokwari-Sorong No.33/September 2007, hal 42

Tebay, Neles., Interfaith Endeavours for Peace in West Papua, London: CIIR (Catholic Institute for Internasional Relations, 2005

-----------------.,Papua: Its Problems and Possibilities for a Peaceful Solution, Jayapura: SKP Jayapura, 2008

-----------------., Dialog Jakarta-Papua: Sebuah Perspektif Papua, Jayapura: SKP Jayapura, 2009

Widjojo, Muridan S., (ed) Papua Road Map: Negotiating the Past, improving the Present and Securing the Future, Jakarta: Obor, LIPI, TiFA, 2009

Posting Komentar

0 Komentar