Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Menanti Pemimpin Papua: Menemukan Wajah Yang Tersingkap


Foto Ilustrasi (repro)


Di tengah eforia PSU (Pemilihan Suara Ulang) dan menanti penetapan pemimpin terpilih, mari kita berhenti sejenak menyimak kisah Sang Guru dalam Matius 16:13-23. Kisah ini menggema dengan kuat, membawa pesan mendalam bagi siapa pun yang akan memimpin: bahwa kekuasaan sejati lahir dari pengenalan akan Tuhan dan kerendahan hati untuk melayani. Dalam setiap wajah rakyat, sang pemimpin diajak untuk melihat wajah Tuhan sendiri.

Ketika Sang Guru bertanya kepada murid-murid-Nya, “Menurut kamu, siapakah Aku ini?”, Petrus, salah seorang dari murid itu menjawab lantang dan penuh keyakinan, “Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!” Jawaban Petrus yang tegas tidak hanya memancarkan iman pribadi, tetapi juga menjadi dasar kepercayaan Sang Guru untuk membangun jemaat-Nya di atas batu karang iman Petrus.

 “Engkaulah Petrus, dan di atas batu karang ini  Aku akan mendirikan jemaat-Ku, dan alam maut tidak akan menguasainya. Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Surga. Apa saja yang kauikat di dunia ini akan terikat di surga, dan apa saja yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di surga.”

Jawaban iman Petrus yang tegas memungkinkan dirinya diberi kepercayaan penuh, sebagai pemegang kunci Kerajaan Surga di dunia. Bukan hanya itu, malahan Petrus mendapat kuasa penuh, mewakili Sang Guru untuk mengampuni dosa manusia.

Dengan pencapaian ini, sebagai seorang pemimpin terpilih, Petrus tampak besar kepala. Dia merasa diri hebat. Segalanya mungkin aman dan nyaman. Tidak ada yang perlu dikuatirkan. Bahkan, situasi penderitaan yang terjadi tak perlu dihiraukan.

Cara pikir Petrus yang merasa aman dan nyaman itu, tidak sejalan dengan cara pikir Sang Guru. Kuasa diberikan bukan dijadikan 'ajang untuk hidup nyaman', melainkan merupakan salib tanggung jawab yang harus dipikul. Sebagai pemimpin terpilih, harus berani menanggung penderitaan dan pengorbanan, serta setia pada tugas yang diberikan. 

Supaya cara pikir Petrus itu dimurnikan, Sang Guru dengan tegas memberitahukan bahwa Ia harus pergi ke Yerusalam, dan menanggung banyak penderitaan dari tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh.

Mendengar itu, Petrus tampak kebakaran jenggot. "Wah, saya ini kan pemimpin. Sudah diberi kuasa. Apa yang harus ditakutkan?" Karena itu, Matius mengisahkan bagaimana reaksi cepat Petrus: menarik sang Guru ke samping dan menegur Dia, katanya, "Tuhan, kiranya Allah menjauhkan hal itu! Hal itu sekali-kali takkan menimpa Engkau."

Namun, keberanian Petrus itu, justru ditentang Sang Guru. Bahkan, dengan suara tegas dan keras, Sang Guru menegur Petrus, "Enyahlah Iblis! Engkau suatu batu sandungan bagi-Ku, sebab engkau memikirkan bukan yang dipikir Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia."


Pemimpin Yang Dinantikan

Kisah Petrus ini mesti menjadi bahan permenungan bagi pemimpin terpilih kita ke depan. Bahwa menjadi pemimpin tidak cukup hanya memiliki pengakuan iman, tetapi juga harus memahami jalan pengorbanan dan kesetiaan pada misi pelayanan yang lebih besar dari dirinya.

Singkatnya, menjadi pemimpin bukanlah soal kekuasaan, tetapi tentang keberanian untuk memikul salib tanggung jawab. Juga bukan soal menyingkirkan penderitaan, tetapi masuk ke dalamnya bersama rakyat. Pemimpin dipanggil bukan hanya untuk dikenal, tetapi untuk mengenal suara rakyat seperti Petrus mengenal suara Tuhan.

Karena itu, pemimpin sejati akan menemukan Tuhan bukan di ruang rapat tertutup, tetapi di wajah orang tua yang menunggu akses kesehatan yang baik, anak-anak yang merindukan pendidikan bermutu, masyarakat adat yang memeluk tanahnya sambil berharap tidak dilupakan, serta wajah keriput terbakar sinar matahari, yang terus berharap untuk mendapatkan bantuan negara secara adil dan merata tanpa pengkotak-kotakan antara pendatang dan pribumi. Dalam wajah mereka itulah, wajah Allah yang sesungguhnya tersingkap.

Maka siapa pun yang terpilih, semoga tak hanya berdiri di atas podium kemenangan, tetapi juga berlutut dalam kesetiaan, mendengar jeritan dan harapan rakyat, dan membiarkan kasih Tuhan mengalir dalam setiap kebijakan. Karena di Papua, seperti di Galilea, Tuhan hadir—dalam tanah, dalam hutan, dalam air mata dan tawa rakyat-Nya. (Demmy Namsa)

  


Posting Komentar

0 Komentar